Perkawinan Hindu Etnis Bali
Tata Cara Pelaksanaaan Upacara Perkawinan
Dalam setiap pelaksanaan upacara perkawinan, agama Hindu tidak mengabaikan adat yang telah terpadu dalam masyarakat, karena dalam agama Hindu selain berpedoman pada Kitab Śruti, umat Hindu juga dapat berpedoman pada Śmrti, dan hukum Hindu yang berdasarkan kebiasaan yang telah dilakukan secara turun temurun disuatu tempat yang biasa disebut Ācāra. Dengan melakukan upacara yang dilandasi oleh ajaran yang diajarkan dalam kitab suci dan mengikuti tata cara adat yang telah berlaku turun temurun, maka akan mendapatkan kebahagiaan di dunia ini (jagaditha) dan kebahagiaan yang abadi (Moksa).
Sistem perkawinan yang umum dilaksanakan oleh umat Hindu etnis Bali adalah dengan cara mapadik. Adapun tata cara dalam perkawinan memadik adalah:
1) Mencari hari baik (Padewasan).
Mencari hari baik (dewasa) biasanya dilakukan oleh pihak pengantin pria, dengan cara minta petunjuk kepada seorang Sulinggih atau seseorang yang sudah biasa memberikan dewasa (nibakang padewasaan). Adapun dewasa yang diminta biasanya berurutan sesuai dengan acara-acara dalam pelaksanaan upacara perkawinan, antara lain: dewasa pangenten (pemberitahuan), dewasa mererasan (meminang/mapadik), dewasa penjemputan calon pengantin wanita dan dewasa pawiwahan.
2) Pangenten (Pemberitahuan).
Pada hari ini orang tua calon pengantin pria datang ke rumah calon pengantin wanita bertemu dengan orang tuanya untuk bermusyawarah mengenai tujuan dari kedua calon pengantin serta meminta persetujuan kepada orang tua calon pengantin wanita tentang hari baik (padewasan sesuai dengan tahapan acara perkawinan), seperti pasobyah (mengumumkan) kepada keluarga besar di masing-masing kedua keluarga calon pengantin dan mengumpulkan keluarga besarnya untuk bisa menyampaikan tentang tujuan keluarga calon pengantin serta memohon bantuannya baik bersifat phisik maupun material.
3) Mererasan (meminang/mamadik)
Pada hari ini keluarga besar dari pihak calon pengantin pria datang ke rumah calon pengatin wanita untuk meminang. Pada saat melamar, kadang-kadang masing-masing keluarga calon pengantin mengungkap atau memaparkan silsilah keluarga. Pada saat melamar pihak keluarga atau wakil keluarga dari calon pengantin laki-laki biasanya mempersiapkan wakil keluarga yang akan menyampaikan silsilah keluarga, jika pihak keluarga pengantin wanita menanyakan tentang silsilah keluarga calon pengantin laki-laki. Mengungkap silsilah keluarga berguna untuk menghindari adanya hubungan sedarah antara calon pengantin laki-laki dan calon pengantin wanita, sehingga apabila hal itu terjadi pernikahan tersebut dapat dicegah sebelum dilangsungkannya upacara pernikahan.
Acara memadik menggunakan upakara. Adapun upakara yang dibawa pada waktu memadik (meminang), antara lain:
a. Pejati, sebagai upakara pesaksi untuk dihaturkan di pemerajan calon pengantin perempuan
b. Canang pangraos, ditambah dengan segehan putih kuning asoroh
c. Pagemelan (rarapan) atau saserahan.
Jenis dan jumlah saserahan ini tergantung pada kesiapan, keseriusan, dan ketulusan keluarga calon pengantin laki-laki. Seserahan dapat berupa berbagai macam kue, buah-buahan, dan pakaian (pasaluk).
4) Penjemputan Calon Pengantin Wanita
Apabila calon pengantin wanita tidak diboyong pada saat memadik, maka acara berikutnya adalah penjemputan calon pengantin wanita oleh calon pengantin pria. Pada hari ini calon pengantin pria diikuti oleh anggota keluarga beserta unsur-unsur prajuru seperti ketua banjar, dan sesepuh datang ke rumah keluarga calon pengantin wanita untuk menjemput calon pengantin wanita. Pada hari ini umumnya pihak calon pengantin pria membawa upakara berupa:
a. Upakara mamerasan berupa: (1) Pejati asoroh, (2) Canang burat mangi lengawangi, (3) Segehan putih kuning asoroh, dan (4) Canang Pangerawos
b. Sarana sebagai Penukar Air Susu dan alas rare (aled rare) berupa: (1) Basan buat, (2) Kain saparadeg, (3) Gelang, kalung, pupuk, dan (4) Handuk.
c. Upakara Pengungkab Lawang (jika dilakukan) berupa: (1) Pejati dan suci alit, (2) Peras pengambean, (3) Caru ayam brumbun asoroh, (4) Bayekawonan , (5) Prayascita, (6) Pangulapan, (7) Segehan panca warna, (8) Segehan seliwah atanding, dan (9) Segehan agung.
Pengungkab lawang merupakan tatanan pelaksanaan perkawinan pada waktu menjemput calon pengantin wanita ke rumahnya. Ngungkab lawang merupakan acara untuk mempertemukan pertama kali calon pengantin pria dengan calon pengantin wanita. Acara ngungkab lawang hanya dilakukan pada upacara perkawinan tingkat utama.
Tujuan dari acara ngungkab lawang adalah untuk menghormati keluarga calon pengantin wanita oleh keluarga calon pengantin pria sehingga hubungan kedua calon pengantin akan semakin harmonis, selaras dan serasi, Hal ini sesuai dengan sloka dalam kitab suci sebagai berikut:
yatra nāryāstu pūjyante ramante tatra devatāh,
yatraitāstu na pūjyante sarvās tatrā phalah kriyāh
artinya
“Di mana wanita dihormati, di sanalah para dewa merasa senang,
tetapi di mana mereka tidak dihormati, tidak ada upacara suci
apapun yang akan berpahala”.
Berdasarkan sloka tersebut di atas dapat diketahui bahwa perlakuan terhadap seorang wanita membawa dampak yang amat besar dalam keberhasilan sebuah keluarga.
Ngetok lawang diawali dengan mengucapkan pantun oleh calon pengantin pria atau yang mewakilinya dari luar dan selanjutnya dibalas dengan pantun juga oleh calon pengantin wanita atau yang mewakilinya dari dalam gedong. Pantun diucapkan saling bersautan. Setelah calon pengantin wanita selesai mengucapkan pantun, lalu calon pengantin pria menjemputnya dengan mengetok pintu gedong tiga kali, maka keluarlah calon pengantin wanita. Untuk memastikan apakah benar wanita yang dimaksud maka calon pengatin pria membuka kerudung calon pengantin wanita. Selanjutnya dilakukan pertemuan ibu jari tangan kanan calon pengantin pria dengan ibu jari tangan kanan calon pengantin wanita dan disertai dengan doa oleh orang yang ditunjuk oleh pihak calon pengantin pria.
Setelah itu kedua calon pengantin diboyong ke pemerajan untuk melakukan persembahyangan memohon doa restu dari Sang Hyang Guru dan para leluhur pihak pengantin wanita. Selesai sembahyang dilanjutkan dengan sembah sungkem kepada kedua orang tua calon pengantin wanita untuk mohon doa restu. Sembahyang di pemerajan merupakan acara mepamit secara niskala yaitu kepada leluhur, sedangkan mepamit secara sakala adalah mohon doa restu dari kedua orang tua.
Sesampainya di depan pintu gerbang rumah calon pengantin pria diberikan segehan putih kuning, sebagai sarana penetralisir kekuatan-kekuatan yang bersifat negatif, karena posisi kedua calon pengantin secara spiritual adalah dalam kekuasaan kama.
Setelah kedua pengantin masuk ke halaman rumah, diantar ke depan dapur untuk melaksanakan penyucian kecil, yaitu diperciki tirta pabayekawonan, maprayascita dan terakhir ngayab upakara peras pengambean dan dapetan. Maksud penyucian ini adalah penyucian pertama dari sebel kandelan pengantin.
5) Upacara perkawinan (Wiwaha Samskara)
Urutan pelaksanaan upacara perkawinan umat Hindu adalah sebagai berikut:
a. Sarira Samkara (Upacara makala-kalaan)
Upacara makala-kalaan bertujuan untuk penyucian diri, upacara ini ditujukan kepada bhūta kala, di mana kala ini merupakan manifestasi dari kekuatan kama yang memiliki sifat keraksasaan. Kedua pengantin dipersonifikasikan sebagai kekuatan kala dan kali yang disebut kala nareswari. Upacara makala-kalaan juga disebut upacara bhūta saksi.
Menurut kitab suci upacara makala-kalaan yang ditujukan kepada para bhūta yang dihaturkan di atas tanah termasuk dalam prahuta. Tujuan dari upacara makala-kalaan adalah untuk menghilangkan segala mala dan menyucikan sukla dan swanita. Selain itu upacara makala-kalaan adalah upacara penyucian kedua pengantin dari segala mala atas perintah Dewa Śiwa.
Selanjutnya upacara makala-kalaan selain bersaksi kepada bhūta kala, juga bersaksi kepada Pertiwi.
Dalam pelaksanaan upacara makala-kalaan digunakan beberapa uparengga (peralatan) sebagai pelengkap upacara. Uparengga yang dipergunakan pada upacara makala-kalaan memiliki fungsi adalah sebagai bahasa isyarat kehadapan Sang Hyang Widhi beserta manifestasinya serta mengandung nilai-nilai ethika yang sangat tinggi dan dalam. Adapun uparengga yang dipergunakan adalah: (1) Sanggah Surya, (2) Kalabang Kala Nareswari (Kala Badeg), (3) Tikeh dadakan (tikeh kecil), (4) Benang putih, (5) Tegen-tegenan, (6) Suhun-suhunan (sarana junjungan), (7) Sapu lidi tiga katih , (8) Sambuk (serabut) kupakan, (9)Klukuh berisi berem.
Dalam rangkaian upacara makala-kalaan ada sarana yang dipergunakan yaitu tetimpug yang dibuat dari tiga buah potong bambu yang masing-masing ada ruasnya, yaitu lima ruas atau tujuh ruas. Ketiga potong bambu ini diikat jadi satu kemudian dibakar di atas tungku bata yang dibuat pada saat upacara makala-kalaan. Makna yang terkandung di dalamnya adalah secara niskala untuk memanggil para bhūta kala bahwa upacara segera dimulai.
Kedua pengantin duduk menghadapi upakara dengan posisi duduk pengantin wanita berada di sebelah kiri pengantin pria, kemudian kedua penganten natab banten bayakawonan, dilanjutkan dengan malukat dan maprayascita sebagai pembersihan. Selesai natab bayakawonan dan pembersihan kedua pengantin menuju ke tempat mategen-tegenan. Penganten pria memikul tegen-tegenan sambil membawa sapu lidi tiga biji, sedangkan pengantin wanita menjunjung suhun-suhunan berjalan mengelilingi sanggah surya ke arah purwa daksina (arah jarum jam) dengan posisi penganten wanita di depan mengelilingi sanggah surya sebanyak tiga kali, dan penganten pria mencemeti penganten wanita. Pada setiap putaran, kedua pengantin menendang serabut kelapa (kala sepetan) yang di dalamnya berisi telor, ditutupi dengan serabut kelapa dibelah tiga dan diikat dengan benang tridhatu. Setelah makala-kalaan serabut kelapa tersebut ditaruh di bawah tempat tidur pengantin.
Acara selanjutnya adalah madagang-dagangan. Pada saat madagang-dagangan penganten wanita duduk di atas serabut kelapa, mengadakan tawar menawar hingga terjadi transaksi antara pengantin pria dan pengantin wanita yang ditandai dengan penyerahan barang dagangan serta pembayarannya. Akhir dari madagang-dagangan adalah merobek tikeh dadakan yang dipegang oleh pengantin wanita dengan kedua tangannya, dan pengantin pria mengambil keris kemudian merobek tikeh dadakan tersebut yang diawali dengan menancapkan keris ke tikeh dadakan dan dilanjutkan dengan mengambil tiga sarana kesuburan yaitu keladi, kunyit, dan andong, yang kemudian dibawa oleh kedua pengantin ke belakang sanggah kemulan untuk ditanam.
Acara selanjutnya adalah mapegat, yaitu memutuskan benang yang kedua ujungnya diikatkan pada dua cabang pohon dapdap. Selesai memutuskan benang kedua penganten kemudian mandi untuk membersihkan diri. Mandi untuk membersihkan diri ini disebut ”angelus wimoha’, yang memiliki pengertian dan tujuan untuk melaksanakan perubahan nyomya dari kekuatan asuri sampad menjadi kekuatan Daiwi sampad atau nyomya kala bhūta nareswari agar menjadi Sang Hyang Smarajaya dan Smara Ratih. Sehabis mandi kedua penganten berganti pakaian, dan berhias untuk melakukan upacara dewa saksi di sanggah.
b. Upacara Widhi Widhana / Majaya-Jaya
Upacara widhi widhana/majaya-jaya dilakukan setelah selesai melaksanakan upacara makala-kalaan.
Rangkaian upacara widhi widhana /majaya-jaya ini diawali dengan puja yang dilakukan oleh sang pemuput upacara (Pandita/Pinandita). Setelah sang pemuput upacara selesai mapuja dilanjutkan dengan persembahyangan yang dilakukan oleh kedua pengantin. Sebelum melakukan persembahyangan kedua pengantin diperciki tirta panglukatan dan dilanjutkan dengan tirta prayascita. Persembahyangan diawali dengan puja trisandya, kemudian dilanjutkan dengan panca sembah.
Selesai sembahyang kedua pengantin diperciki tirtha kekuluh dari pemerajan atau pura-pura, dan dilanjutkan dengan memasang bija. Selesai sembahyang dilanjutkan dengan natab banten sesayut (sesayut nganten).
Selesai natab banten sesayut, kedua pengantin diberikan tetebus (benang) dan dipasangkan karawista. Selesai memasangkan bija dan karawista dilanjutkan dengan mengucapkan sumpah perkawinan oleh pengantin pria dan pengantin wanita. Setelah pengucapan sumpah perkawinan maka dilanjutkan dengan upacara majaya-jaya, sebagai peresmian atau pengukuhan pernikahan telah sah menurut Hindu.
Setelah upacara mejaya-jaya selesai, semua hadirin mengucapkan doa sebagai berikut:
Om ihena Vindra Sam Nuda Vakavakeva Dampati
Om.....sang Hyang Indra, persatukanlah kedua pengantin ini Laksana Burung Chakrawaka tidak pernah berpisah denga pasangannya.
Dengan demikian selesailah rangkaian upacara perkawinan tersebut, kemudian dilanjutkan dengan menanda tangani surat-surat yang menjadi syarat administrasi untuk keperluan mencari akta perkawinan.
c. Majauman
Majauman merupakan rangkaian terakhir dari upacara perkawinan umat Hindu etnis Bali. Majauman merupakan kunjungan resmi yang bersifat religius dari pihak pengantin pria ke rumah pengantin wanita yang dilakukan setelah melaksanakan upacara pernikahan (dewa saksi).
Majauman jika dilihat dari dasar kata ”jaum” di mana fungsi jaum atau jarum adalah untuk merajut atau menyatukan kembali, maka makna majauman dalam rangkaian upacara perkawinan adalah untuk menyatukan kembali dua buah keluarga yang bersitegang. majauman biasanya dilakukan apabila kedua penganten ngarorod, sehingga arti mejauman adalah menyatukan kembali dua buah keluarga yang tadinya retak atau marah akibat anak gadisnya dilarikan oleh calon pengantin pria, namun akan menjadi lain apabila perkawinan itu dilakukan dengan cara memadik. Majauman kalau dilihat dari akar katanya ”jaum” mengandung arti adalah untuk menyatukan dua buah keluarga (keluarga pengantin pria dan keluarga pengantin wanita) melalui suatu perkawinan.
Majauman juga berarti memberitahukan kehadapan Hyang Guru dan para leluhur dipihak penganten wanita bahwa kedua pengantin telah menyatu dalam sebuah upacara perkawinan, serta mohon doa restu agar selalu melindungi perkawinan atau rumah tangga kedua pengantin, sehingga selalu dalam keadaan harmonis.
Dirangkum oleh: Ni Nyoman Sudiani
Daftar Pustaka
Pudja, Gede. dan Tjokorda Rai Sudharta. 2004. Mānava Dharmaśāstra. Surabaya: Paramita.
Sudarsana, I.B Putu. 2008. Ajaran Agama Hindu Makna Upacara Perkawinan Hindu. Denpasar: Panakom Publishing untuk Yayasan Dharma Acarya.
Sudharta, Tjok Rai. 2006. Manusia Hindu dari Kandungan sampai Perkawinan. Denpasar: Yayasan Dharma Naradha.
Titib, I Made. 1996. Veda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya: Paramita.
Titib, I Made. 1996. Perkawinan dan Kehidupan Keluarga menurut Kitab Suci Veda. Surabaya: Paramita
Pudja, Gede. dan Tjokorda Rai Sudharta. 2004. Mānava Dharmaśāstra. Surabaya: Paramita.
Sudarsana, I.B Putu. 2008. Ajaran Agama Hindu Makna Upacara Perkawinan Hindu. Denpasar: Panakom Publishing untuk Yayasan Dharma Acarya.
Sudharta, Tjok Rai. 2006. Manusia Hindu dari Kandungan sampai Perkawinan. Denpasar: Yayasan Dharma Naradha.
Titib, I Made. 1996. Veda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya: Paramita.
Titib, I Made. 1996. Perkawinan dan Kehidupan Keluarga menurut Kitab Suci Veda. Surabaya: Paramita